19-09-15
Jalan Mojoangung
Si merah masih saja terus ku laju, iringan sirine mobil polisi dan ambulan berseru dari titik kejauhan, ku tengok dari balik kaca spion, dan perlahan menepi. Suasana jalan cukup lengang membuat banyak pengemudi melajukam kendaraan nya dengan kecepatan tinggi. Sehingga bila tak fokus bahaya laka lah yang mengintai.
"Ya Allah beri keselamatan" do'aku ketika menepi dan membiarkan mobil ambulan untuk melaju lebih dulu.
Jarum jam menunjuk pukul 09.53 wib
Tak terasa sudah hampir 2 jam aku melaju dari Surabaya menuju Kediri untuk pulang ke rumah ayahku. Rumah kelahiranku, rumah sejuta mimpi dan kenangan, rumah dimana aku selalu melihat senyuman. Ku lepas lelah sejenak mencoba mendinginkan si merah, dan suhu tubuh yang kian naik seiring sinar mentari yang terus bergerak menuju titik puncak dilangit, sebuah lapak pedagang kaki lima yang menjual aneka buah menarik perhatianku, lapaknya sederhana, terdiri dari susunan rak bambu yang diangkut dengan motor roda tiga, orang di desaku menyebutnya motor tossa meski merk dipasaran tak hanya itu. Satu kilogram sawo matang akhirnya aku beli setelah melihat dan memilih buat apa yang paling pas untuk siang siang yang terik, kandungan serat dan glukosa yang tinggi sanggup memulihkan tenagaku setelah perjalan jauh. Namun begitu terkejutnya aku ketika ingin membayar ternyata uang di dompet tinggal Rp 15.000,- untunglah harga sawo cuma 13.000 sehingga transaksi tetap aku lakukan, bayangin sampai aku batal membeli, kecewa pasti malu nya itu loh yang nggak bisa ditolelir hihihi. Selesai membayar si merah kembali aku laju untuk segera bertemu ayah, tak sabar, kangen.
15.07 wib
Semilir angin sore berhembus pelan melalui sela-sela cendela kamarku, sejuk namun dingin seiring mulai tergelincirnya mentari yang mulai kehilangan kemampuan menyinari tanah bumi ini. Ku lihat dibalik cendela kamarku yang langsung mengarah ke jalan besar, di seberang jalan tampak seorang sedang sibuk dengan gerobaknya, memasang sebuah tenda, menyalakan kompor, lalu memuang minyak dan menggoreng, hal yang sudah biasa sejak satu tahun yang lalu, tapi kali ini ada yang berbeda, bukan menu yang dia sajikan, menunya masih tetap sama ayam goreng ala restoran cepat saji KFC, namun cuma sebatas kaki lima dan tanpa nasi maupun minuman, cuma ayam nya aja yang dijual.
Ku amati lebih dalam seolah memasang cctv dalam pandangan mata menyelidik, "oh ternyata" ucapku spontan setelah tahu apa yang berbeda dari pedanga kaki lima seberang jalan. Segera aku keluar rumah pura pura menyiran anggrek yang kian sehat dan segar, padahal lebih ingin menikmati keindahan seberang jalan.
Yups seoarng laki-laki muda mungkin sekitar umur 18 tahun, berwajah oval dengan hidung mancungnya, kumis yang tipis, berbadan tegap dan bidang, merasa aku perhatikan dia melempar senyum padaku, oh tidak aku ketahuan, segera ku lempar senyum balik dan masuk ke rumah. Sesekali aku sempatkan untuk meraba seluruh tubuhnya melalui mataku, ku bayangkan dimensi waktu untuk bisa bersamanya, mulai dari kakinya yang berotot kuat, mungkin sering lari kali ya, lengannya yang menunjukkan bisep dan trisep begitu kokoh, paras wajahnya yang ramah dan seolah beraroma bau matahari yang khas laki-laki. Aku membara ingin bisa memeluknya, terlebih hhhhmmmm itu nya tuuu #bayangin sediri aja ya pasti udah tahu maksud ku#
Tidak!!! Bukan waktunya aku melamun membayangkan sensasi panas bersama dirinya, jujur meski aku menginginkan tapi aku tak mungkin meluapkan padanya. Ku buyarkan lamunanku untuk makan malam dan segera pergi mencari warnet terdekat, mengerjakn tugas dari dosen.
Warnet murah cuma 2000.
Si merah akhirnya berhenti di bawah pohon mangga, pohon yang sepertinya baru ditanam ini terlihat mulai menunjukkan bunganya, bunga yang akan menarik lebah untuk menghisap nektar dan membantu penyerbukan, kemudian jadilah buah, sebuah kombinasi mutualisme dimana keadaan satu sama lain saling menguntungkan. Suasana masih belum terlalu rame hanya terlihat beberapa jomblowan yang sudah asyik menatap ponsel maupun laptop masing masing, warnet ini tidak menawarkan kita menatap monitor yang sudah disediakan melainkan lebih berkonsep pada cafe cangkruk'an, sebuah konsep dimana pengelola cafe hanya menyediakan tempat dan jaringan wifi. Konsep ini sudah banyak ditawarkan dikota kota besar. Namun karena di desa dan biar terkesan murah, strategi pemasaran dilakukan dengan nuansa dekorasi rumah pribadi hanya ditambah beberapa meja dan kursi untuk menampung pengunjung. Jauh lebih praktis dan bermodal sedikit dibanding mendesaign ruangan yang benar benar real cafe.
Sebuah meja bundar yang kira kira mampu menampung 5 buah laptop menjadi tempat yang aku tuju, tempat yang sesuai untuk berdiskusi tapi buat apa pikirku, biasanya cafe-cafe seperti ini tingkat individualisme nya sangat tinggi.
"Selamat datang mas?" sapa seorang withers yang ramah, terlihat tua sekitar 40 tahun usia nya, yang ternyata adalah pemilik usaha
"Iya buk, sore"
"Ini menu dan password wifi nya" sembari menyodorkan menu cemilan yang disajikan, kulihat sekilas
Dari sisi minuman hanya ada
Es campur
Soft drink
Kopi susu panas
Kopi hitam panas
Es teh maupaun teh panas
Dari sisi makan hanya ada dua macam
Mie instan rebus dan mie instan goreng.
"Pesan nanti boleh bu?"
"Iya boleh, tapi untuk fasilitas wifi bayar sekarang ya mas"
"Iya bu, berapa?"
"Cuma dua ribu rupiah mas sepuasnya"
"Oh iya bu" sembari ku serahkan uangnya, dalam batinku apa tidak salah ibu ini? Murah sekali?
"Makasih mas, selamat menikmati internetan nya, oh ya jangan lupa motor dikunci ganda ya" nasihat ibu itu sembari pergi ke calon konsumen yang lain.
Dengan dua buah server yang menyala dan jumlah pengunjung yang masih sepi, membuat selancarku di dunia maya menjadi begitu lancar sampai sampai ada dua orang cowok duduk satu meja denganku. Begitu aku melihatnya "OMG, thanks ya Allah" teriakku senang tak terpalang dalam hati, ini sebuah anugrah bagaikan kejatuhan durian. Lagi lagi sesosok cowok yang sangat tampan, masih muda, segar mirip Rizal, cowok yang jualan ayam goreng depan jalan. Suranya yang berat namun dalam seolah meluluhkan telingaku, matanya yang coklat dan penuh seolah ada kristal yang memancar dari balik jiwanya. Lagi lagi pikiran itu terbesit, hampir satu menit aku menatapnya hingga dia merasa malu dan menunduk, akupun kembali fokus pada laptopku.
Malam minggu adalah malam yang panjang, seiring semakin banyak pengunjung semakin lemot dan leletlah jaringan wifi nya, mungkin inilah alasan kenapa harga fasilitas yang ditawarkan sangat murah. Loading lama ditambah perut yang kian bicara, akhirnya aku hentikan berselancar dan pulang. Sebelum pulang ku tatap dalam wajah itu dan untunglah aku berhasil mendapat fotonya, mencuri lebih tepatnya hahaha.
Jalanan mulai sepi, tepat di depan rumah
"Mas"
"Dalem" jawabku sembari mencari sumber suara yang memanggilku, ternyata suara itu dari seberang jalan.
"Baru pulang?"
"Iya, kamu juga udah mau pulang?"
"Iya mas, tinggal nunggu mas saja"
"Loh kog nunggu aku?"
"Hehehe iya, ini mas, buat mas" sembari menyodorkan sebuah bungkusan
"Apa ini?"
"Tanda kenalan mas, nama aku Rizal"
"Salam kenal aku wisnu, terimakasih ya" jawabku sembari menerima bungkusan uang telah diserahkan
"Iya sama sama, saya baru jaualan hari ini"
"Oh jadi kamu yang jualan sekarang? Pak Shomat kemana?"
"Bapak yang jualan sebelum aku?"
"Iya"
"Dia pindah mas, katanya ke Pare kota"
"Oh gtu, ayo masuk dulu"
"Ndak usah mas, udah malam, aku pamit ya"
"Oh gtu" jawabku sedikit kecewa, padahal aku masih ingin mengobrol banyak dan mengetahui apapun dirinya siapa tau dia juga JmJ hihihi, sarap!!!
"Aku pamit mas" izinnya sembari menyalakan motor beat berwarn putih itu.
"Iya hati-hati, makasih ya"
Semakin jauh dan menghilang, akupun masuk dan membuka bunguksan, ternyata sebuah hati ayam dan sepotong daging bagian dada. Aku hanya tersenyum, ini kebetulan atau Rizal emang tahu kalau aku sedang membutuhkan hati, hati untuk berlabuh menyandarkan cinta.
Salam
Wisnu