Jumat, 11 September 2015

Rainbow Heart

Jum'at 11-09-15
Suara azan untuk sholat jum'at semakin berseru berkumandang, memanggil para adam muslim untuk segera menunaikan sholat jum'at.
Siang yang panas di terasa menyengat diujung ubun ubun kepalaku, yach inilah bulan september, bulan paling kering diantara bulan bulan yang lain, berbeda dengan tahun lalu yang hampir tidak ada panas. Namun kali ini justru sinar panaslah yang berlimpah ibarat orang awam bilang neraka sudah bocor, hihihi.
Meski begitu panas aku segera bersiap siap beranjak dari kursi empukku yang nyaman, yups dimana lagi kalau bukan ruang kerjaku
Ruangan yang tidak besar tapi cukup untuk menampung 10 set meja kerja dan segala macam pernak perniknya.
Ruangan yang selalu dingin dengan nuansa klasik berdinding corak cream kian membuat orang serasa rilex, terlebih lagi motif lantai keramik yang baru bercorak batu batuan koral seakan barada dalam rumah sendiri. Hanya saja suara bising dari telp yang berdering, mesin fax yang selalu mendecit, dan musik dangdut koplo dari temen kerja membuatku tak berasa dirumah tapi serasa di tengah pasar.
"Ayo bragkat sholat" pesan masuk yang aku baca dari media BBM. Sentak aku lepas sepatu kerjaku lalu mencari sandal jepit dan bergegas ke masjid. Lokasi masjid yang tak jauh dari kantor bisa dibilang sekitar 100 meter akhirnyabuatku bertekan untuk jalan kaki, meskipun sempat berfikir naik motor karena sengatan panas mentari yang terik menjilat di kulit lenganku. Tapi buat apa? Boros bensin.
Dengan langkah yang sedikit terburu mencari celah dibawah pohon pohon yag berdiri di sepanjang jalan aku berangkat. Untunglah masih ada juga manusia yang peduli untuk menamam pohon, ya meskipun cuma lembaga pemerintah saja. Hehehe. Dingin air yg mengalir membasahi wajahku yang kian memerah karena panas, air wudhu yang sejuk bak anugerah terindah yang pernah diciptakan oleh Tuhan, seperti dirinya. Selesai wudhu tengok ku mencari tempat yang kosong dilantai satu tapi apa daya karena aku sedikit terlambat membuat ruangan sudah penuh, ya pastilah penuh karena lantai satu adalah tempat yang lebih sejuk dibanding lantai dua. Mau tidak mau harus ke lantai dua.
Sholat sunnah masjid dua rokaat mengawali amalan-amalan ibadah siang itu, salam yang terdengar lirih tepat disampingku membuat hatiku semakin berdesir. Lembut namun dalam suara khas lelaki dewasa. "Walaikumsalam"/jawabku lirih dan menoleh ke arahnya. Ternyata benar itu adalah dia. Tak berani berkata maupun berbicara, suara khotib membacakan kutbah adalah masa dimana sumber ilmu dan amalan paling besar ketika kita melakukan rangkain sholat jum'at. Dan untuk ikut aku bertunduk berusaha konsentrasi untuk mendengarkan.
Hati yang semakin berdetak kencang akhirnya tak bisa kutahan, lirikan lirikan kecilku memperhatikan nya, dia tampak berbeda wajahnya yang kian matang serasa lebih dewasa dariku, padahal dia lebih muda 2 tahun. Ssstttsss istilahnya brondong hihihi.
Wajahnya terlihat lebih gelap, lebih eksotis dan hhhhmmm membuatku semakin hot kepanasan ditambah lagi lantai dua yang sudah panas karena cuaca diluar serasa kipas angin berdiameter 1.5 meter tidak mempan.
Suara iqomat pun membubarkan lamunanku dan beranjak sholat jum'at. Salam akhir dan do'a telah aku panjatkan
Doa keselamatan untukku, untuk ayahku, dan kedua kakaku, doa permohonan ampunan untukku, ayahku, almarhumah ibuku, dan kedua kakaku, serta doa memohon rejeki yang halal, dan kesehatan, umur yang panjang tak hentinya selalu ku ucapkan, Aamiin.
Aku beranjak dan mencari sosok dia namun sudah pergi dari sampingku, mungkin dia sudah duluan karena harus kembali bekerja. Tapi serasa mendapat pelangi di siang bolong dia ternyata menungguku di depan masjid, dengan membawa sebotol teh dingin. Dia memanggilku
"Hay yok"
"Hay, kamu belum masuk?" tanyaku sembari mendekat padanya
"Belum, nich buat dinginin otak lo" sembari menyodorkan sebotol teh yang dingin
"Thanks"
"Kuliah, kapan lagi masuk?"
"Baru senin depan kan?"
"Kamu jadi ambil jurusan apa?"
"Keuangan, kalau kamu?"
"Aku pajak, brarti nggak sekelas lagi donk"
"Iya"
"Oalah, yo wes aku masuk dulu ya" pamitnya sembari masuk ke dalam stastiun. Iya dia kerja di salah satu perusahaan perkereta apian di negaraku, sebagai ticketing.
"Iya met kerja" jawabku dan pergi meninggalkan nya dan lagi lagi pandangan ini seolah tak ingin lepas darinya aku masih mengamati hingga dia menghilang dibalik pintu. Espresi datar namun itulah yang aku sebut rindu.

1 komentar: